
Moncong speaker itu telah sering kali meludah. Cipratan ludahnya tidak membekas membasahi lantai asrama, tapi malah membasahi gendang telinga. Terkadang sampai basah, tapi tak sampai kuyup-kuyup amat. Tekadang lagi, ia meronta dan membuat sayatan-sayatan perih, ia membuat lubang-lubang dekil dalam kalbu, ia membuat tusukan-tusukan mengerikan. Dan terkadang, ia adalah pelipur lara, penghibur duka, pengobat sukma. Entah! Berapa ratus perasaan tertumpah ruah pula ke dalamnya dan dari dalamnya. Mulai dari bersorak-sorai, menggerutu, mencaci, memaki, mengkritisi sembari memberi solusi, tak menghiraukan hingga menyadari dengan sendiri. Wajarlah! Tak ada yang aneh. Tapi bagiku, terkadang aneh pula.
”Mohon perhatian! Kami ingatkan kembali kepada konco-konco santri, bahwasanya, persiapan berangkat ke kelasnya masing-masing hanaya 5 menit. Bagi yang baru berangkat setelahnya, maka akan mendapatkan sanksi dari pengurus. Sekian, atas perhatiannya kami sampaikan tertima kasih. ”
”Kriii...ng, kriii...ng, kriii...ng!”. Sungguh, bel itu tak lebih pelan dari gemuruh hujan. Para santri tak jarang sewot karena dipaksa mendengarnya. Mayoritas, muka masam mereka selalu tampak. Dan kian hari, kian kusut saja. Mungkin, bagi mereka, waktu-waktu itu adalah waktu yang membosankan. Tak jarang, kaki mereka berjalan seperti siput dingklang. Sebagian yang lain, segera beregas, tapi mereka itu kaum minoritas. Bergegas, belum tentu panggilan hati. Bisa saja karena takut mendapat sanksi, atau karena ingin tidur lagi dikelas nanti. Oh! Ah! Ih! Buruknya sebagian mereka telah terlanjur terancuni pemikiran ngawor, ’lek ngantuk diturokne, lek ora ngantuk, di turok-turokne’. Wah! Kaccau.
Sebagian lagi, tetap tidur di kamar adalah pilihan tersantai. Biarlah nanti dihukum. Tak apalah digebyur air segalon. Biarlah ditendang pada bokong. Ah! Santai itu nikmat. Perbedaan adalah keindahan. Nikmatnya laki-laki menikah dengan perempuan. Kalau semua orang perempuan, apa yang bisa dimasukkan seusai duduk di pelaminan? Macam watak penguru pun demikian. Sebagian, galaknya melebihi tentara, dan sebagian yang lain, lembutnya melebihi wanita. Berhati-hati hingga mudah dibohongi. Ganas, keras, beringas hingga salah tebas. Sementara, yang terlalu berhati-hati selalu memegang prinsip, ’lebih baik keliru memberi maaf dari pada keliru memberi hukuman”. Demikian itu, bagi mereka, banyak selamatnya. Sungguh!. Persamaan yang tak pernah sama.
5 menit belum berlalu
”Mohon perhatian!. Karena ada suatu hal yang bersifat teknis, untuk sementara waktu, kegiatan pengajian diliburkan. Mohon dimaklumi adanya!.”
”Hore...! hore...! mbok gitu kang, sekali-kali diliburkan.” Muka masam kini telah menghilang. Kegaduhan membangkitkan kesemangatan para pejuang. Keheningan tersayat. Robek. Ternoda. Luka darah kesemangatan terlanjur membanjiri arena pergulatan melawan nafsu belaka. Rekan santri yang terlanjur berangkat, kini kembali menapaki jalan siputnya tadi. Dari kecepatan satu jengkal 1000 jam, menjadi 1000 km per detik. Aneh bagiku. Tapi bagi mereka, itu wajar saja.
Semua tahu, ba’da maghrib adalah waktunya sorogan bersama, ba’da isyak waktunya belajar bersama, ba’da shubuh waktunya mengaji kitab bersama dan semua serba kegiatan yang terdata rapi. Teriakan micropon hingga gemuruh lonceng selalu mengoyak mengingatkan. Keperawanan salon pun sempat robek pula. Hanya ada satu kegiatan yang tanpa lonceng. Tanpa peringatan. Dan tanpa hukuman keterlambatan. Sama sekali kosong. Bahkan, nol kecil pun tak tampak dan memang tak ada.
”mohon perhatian!. Karena ada suatu hal, untuk sementara waktu, pelaksanaan makan siang diundur satu jam. Silahkan kembali ke tempat antrian seusai pukul setengah dua. Demikian, mohon dapat dimaklumi adanya.”
”Huuu!!! Bagaimana to Kang!, masak nasi aja tidak pecus!”
Bumi gonjang-ganjing. Geger. Muka kesemangatan tampak usang dan yang usang menjadi lebih usang. Gerutuan, kebencian, kejengkelan, kekesalan dan ke, ke, ke yang lebih hina semakin tampak saja. Bagi mereka, permohonan maklum tak lagi bisa diterima. Kemerdekaan perut mereka sudah terlanjur ditentang. Antrian makan bubar. Pecah. Semburat tak karuan. Yang agak bisu, meneriakkan piringnya keras-keras. Kedisiplinan mereka kini, telah ternodai. Padahal kedatangan mereka selalu tepat waktu. Bukan tepat waktu lagi, malah sebelum waktu. 10 menit, 15 menit bahkan setengah jam sebelum kedatangan gerobak nasi, mereka suda mengantri. Kalau toh pengurus tak pernah mengebel, maka piring mereka adalah bel itu sendiri. Tanpa disuruh, mereka pasti memukulnya keras-keras. Bahkan, ketika dilarang dibunyikan, mereka tetap saja membunyikannya. Yang aku masih belum bisa membayangkan, bagaimana kalau makan itu diliburkan. Diundur sedetik saja sudah seperti ada gempa. Tidak hanya 9,5 skala richter, tapi malah melebihi 1 juta skala richter.
Ketika kejenuhan menimpali badan-badan para pengurus. Ketika kesemangatan luluh lantak, ketika bel-bel tak lagi bergemuruh, ketika mulut micropone tak lagi mengoceh, apa kata para santri,
’Sorogan apa ndak Kang, ngaji gak sih, ada belajar bersama atau tidak?”
Ah! Pertanyaan yang teramat polos. Biarlah! Yang penting ketika bel tak lagi berbunyi untuk kedatangan nasi, toh mereka tetap berangkat mengantri. Dan ketika itu terjadi, tak ada bel untuk kedatangan nasi, mereka tak pernah bertanya dengan kepolosan mereka,
”Ada makan ndak nih!”
Memang! Hidup ini hanyalah untuk makan. Karena setelah mati nanti, kita tak bisa makan lagi.
Oleh;
Muhith Alhilmy Alhasyimy
Selasa, 12 Februari 2010
04.12 pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar