
Nampaknya Kang Deedat memang benar-benar hanya menyukai baju model koko. Istilah orang lain mengatakan baju taqwa. Lainnya orang lain lagi menamakan baju gamis. Ah! Dalam almarinya yang bercat hijau muda dengan ganggang pintu yang sudah patah, tak ada satu lembar baju pun yang bermodel hem atau berkerah. Pikirnya, baju koko itu lebih kalem. Lebih enak dilihatnya. Agamis. Necis. Boys. Dan entahlah apa lagi. Satu lagi, kata Aa Gym bahwa, teko berisi kopi hanya akan menumpahkan kopi. Orang lain lagi mengatakan, ”kebanyakan PSK akan risih dengan kerudung, baju kurung, sarung kecuali dalamnya, dasar sukanya.”
Seperti biasanya. Acapkali Kang Deedat punya uang berlebih, ia akan langsung bergegas menuju ke Toko pakaian langganannya. Mau cari apalagi kalau bukan ’baju koko’. Corak warna yang paling ia demeni adalah warna biru. Mulai dari biru tua, muda hingga biru bayi (amat muda). Kang Deedat sendiri adalah santri berprinsip ’nggremet penting slamet’. Orang lain mengartikan, ’mengambil keputusan itu jangan tergesa-gesa, yang penting selamat’. Karena ia terlalu berhati-hati itulah ia seakan tak mempunyai hati lagi untuk pedagang klambi. Masak, milih satu baju saja hampir sejam.
Belum 2 hari baju dibeli. Tapi sudah tradisi, kalau barang yang sudah dibeli tak dapat dikembalikan lagi. Menyesal ni? Ga’ kali! Langkahnya tak pernah gontai kalau baju koko sedang terpakai. Deedat githu lho bli!. Awal mula ngreyen, banyak yang berkelakar, mulai mulut segar hingga mulut yang kurang ajar. Kayak ga’ pernah ditampar, tapi tu mulut sudah terlanjur lebar lagi memar. Enaknya memang dibiar. Contohnya kang Amar. Sudah perutnya seperti perut semar, sementara cocotnya seperti moncong dimar.
”Harga baju kokonya berapa lho Kang?”
’45 ribu!, Emang ngapain Mar?”. tanya Kang Deedat sambil duduk bersandar.
”Waaah! Ga’ kemahalan tu Kang!. Ga’ bisa nawar sih!. Koko kayak gitu yang kainnya lebih bagus dan harganya hanya 25 ribu ada kok!”
”Koko seharga 75 ribu tapi kainnya lebih jelek dari ini juga banayk kok Mar!”
Begitulah, jangan panggil Kang Deedat kalau tidak suka berdebat. Tentunya, bagi dia, mudah bersyukur itu juga lebih tepat. Kuping harus tersumbat. Apalagi kalau menghadapi mulut-mulut bangsat, bejat dan tak mudah berucap syukur untuk tuhan pemberi nikmat.
Oleh;
Muhith Alhilmy Alhasyimy
Selasa, 15 Februari 2010
04.21 pm
mzzilmy,,,
BalasHapuspsen bju' koko ne yauw,,,
hehehe
Piro? sori, jarang Ol
BalasHapus