
Rabu, 06 Januari, seusai pengajian ba'da shubuh, tanpa pikir panjang x lebar x tinggi apalagi dibagi luas, aku langsung mandi. Pagi itu gairahku untuk merajut hidup dengan belajar tentang banyak hal kembali mencuat ke permukaan. Aku serasa sedang menjadi pengantin laki-laki di malam pertamanya. Yang ada hanyalah kesemangatan yang membara, kesemangatan yang membuang dan mengubur dalam-dalam aliran mata dari sungai lesung pipi. Kesemangatan untuk siap mendapatkan sesuatu yang terbayang berasa nikmat. Pagi ini aku berharap bisa berangkat kuliyah lebih awal. Masalahnya, aku tak sabar lagi untuk untuk meraba mesra keyboard, memandang rayu monitor, meremas-remas tetikus dan mencumbui komputer di laboratorium kampus hijau. Bagiku dia adalah istriku sebelum aku menikah. Aku ingin menikmatinya sebelum Ibu dosenku datang mengganggu dan berakting seakan mengajariku sesuatu. Setelah handuk mengelap kering tubuh kekarku, semprotan minyak wangi tak bisa terelakkan. Pikirku, jangan sampai istriku nanti tak bergairah hidup karena bau badanku. Di sisi lain, pakai minyak wangi juga disunnahkan kan! Simpelnya, prinsipku "tetap semangat!" sudah mulai kambuh.
Tapi naas. Kecelakaan besar beruntun pun tak dapat terelakkan. Seakan isu murahan 21 Desember 2012 adalah hari ini.
Ketika aku mencoba menghampiri taman baca koran, tiba-tiba ada suara maha dahsyat yang menyambar mengerikan di gendang telingaku. Saking kerasnya, telingaku mengucurkan darah segar dalm halusinasi.
"Ayo kang Hil, piket halaman!". Benar-benar mengagetkan. Terdengar seperti dentuman bom bunuh diri di Bali. Setelah aku melakukan olah TKP (tempat kejadian perkara), ternyata suara itu berasal dari trowongan mulut kang Qidam.
"Lho! Opo wayahe awa'e dhewe?, ki tanggal piro?"
'Yo!, tanggal enem kang Hil!" Katanya meyakinkan, seakan itu memang bom waktu beneran. Sungguh!, aku bisa jantungan karenanya. Mungkin suratan kiamat sudah waktunya tiba dan mulut kang Qidamlah sebagai terompet penghancur alam seisinya yang sudah dijanjikan.
Akan tetapi aku tak percaya begitu saja. Dengan langkah yang tidak lagi merasa seperti pemilik pribadi malam pertama, langkah gontaiku mengantar aku menuju kantor pengurus bidang kebersihan. Kuratapkan wajah kusamku kepada tembok yang ternodai oleh kertas jadwal piket halaman. Kurabakan tanganku dengan terpaksa kepada jadwal bangsat. Kucari nama unikku dengan mencocokkan tanggal piket di atasnya. Lagi-lagi gairah malam pertamaku pupus, musnah menjadi abu, debu, tersapu.
Waddduh!, Masya Allah! Benar, aku hari ini terjatah piket halaman. Bayangkan coba!, sudah mandi bersih, pakai minyak wangi bermerk internasional, setelahnya malah disuruh ngais sesampah. Kamu tahu kan, apa sampah itu? Kotor pastinya. Berkuman dan biasanya tak terlupa, ada belatungnya. Menjijikkan ga' tuh?. Wah!, kalau menurut kulit bersih dan harumku, itu kelasnya bukan menjijikkan lagi, tapi amat sangat sungguh-sungguh pasti menjijikkan jiddan! Tapi bagaimana lagi? Demi cintaku padamu wahai pesantrenku, belatung pun, aku berani mengambilnya dengan mulut bugilku. Tapi ingat, jangan sombong dulu pesantrenku, kau tetap bukanlah tuhan!, yang aku sembah setiap siang dan malam, setiap nafas dan hirupan.
Setelah perut buncit bus dorong yang berbentuk persegi panjang dijejali sesampah asrama, aku meminta kang awwal untuk menjadi drivernya. Biarlah aku menjadi kernet yang nantinya memasukkan penumpang buangan yang amat sangat menjijikkan. Beberapa bak sampah dari keluarga ndalem sudah aku paksa memuntahkan kembali isi perutnya. Penumpang baru itu rata-rata tak bernyawa. Ia tak bisa berpindah tempat dengan sendirinya, kecuali bau busuk aroma tubuhnya. Mataku jeli memandangi sesampah itu, tanganku terkadang mengoreknya untuk meratakan, tiba-tiba, ah! Apa itu?, kok bisa bergerak? Ha belatung? Idi…h, amit-amit lah yau! Tapi, tak apalah, habis, bagaimana lagi?. Lagi-lagi bayangan pesantren yang aku cintai memaksa aku menjadi budaknya. Bedebah ga’ tuh rasa “cinta”.
Bus beroda dua itu sejak tadi sudah menyinggahi beberapa halte. Kang Awwal tetap menjadi drivernya. Rodanya agak kempes, jalannya agak gleyotan, agak pelan, tapi tidak seperti bekecot dingklang. Tujuan kami selanjutnya adalah halte depan koperasi pondok. Harapku, nanti aku menemukan penumpang buangan yang masih perawan dan bermadu, biar aku bisa menghisapnya. Menghisapnya dengan ketulusan hati.
Ternyata benar!
Dengan tanpa hentinya, mataku yang berpigora ini memandanginya tanpa sedetik pun berkedip. Aku rabakan tanganku keseluruh tubuhnya dengan elusan yang super duper mesra. Ia terasa pasrah. Ia diam. Tanpa sedikitpun gerakan. Meronta pun tidak, apalagi sampai menjerit bersuara. Walaupun madunya terlihat sudah habis terkorek tanpa sisa, walaupun ia terlihat bekas dijamah dengan pakaian yang robek dan tinggal menutup anggota atasnya, tapi bagiku ia masih ada manfaatnya. Bagiku, ia bukanlah sampah walaupun dengan jelas ia adalah sampah. Setidaknya aku berencana memakainya untuk tempat sabun cuciku. Dialah gadis yang sudah terjamah itu, botol kecap, bukan dari kaca, tapi mirip tempat air mineral isi 600 ml. unik, cantik, menggiurkan, kemayu, perayu, hampir bugil, tak berjilbab, sudah tidak perawan lagi. Sampah!, tapi bagiku, ia tetap bukanlah sampah. Masih banyak manfaatnya.
Aku tetap memegangnya erat-erat. Menimbang-nimbang. Selain aku, masih adakah orang lain yang mampu merubah total hidupnya? Apakah yang terbaik ia selalu di sisiku, atau aku berikan saja ia kepada orang lain? Tapi siapa lagi yang masih mau dengan sampah? Bukankah semua orang menghardik buangan? Aku tetap diam sambil memeganginya dengan penuh perasaan. Lama. Kang Awwal tetap menjadi drivernya. Ia tak menghiraukan tingkahku. Ah! Hanya aku yang perhatian kepadanya. Hanya aku yang masih menganggpnya bermanfaat. Pikirku. Tapi aku tak boleh terburu-buru mengambil kesimpulan. Aku masih terus berfikir. Ah! Tapi, tunggu dulu. Tiba-tiba aku teringat akan pak Tua si pengais sampah kontainer pondok kami. Beliaulah yang selama ini membantu kami menurunkan penumpang buangan dari bus aneh kami. Rasa jijik kami pun sering terobati karenanya. Lokasi sebelah timur gedung madrasah putri tingkat empat itu seakan adalah kantor beliau. Sungguh kantor yang amat sangat rapi. Bersih! Bersih dari hal yang bersifat bersih. Bau harumnya pun sering memaksa kami untuk menyumbat rapat-rapat lubang hidung kami. Bagi kami mati karena tak bisa bernapas adalah lebih baik dari pada kami harus menghirup bau harum udara kantor beliau. Bolpoin kantor beliau cukup unik. Pasti tidak dijual di toko penyedia alat-alat sekolah dan kantor selengkap apapun. Tanpa tinta, panjang, dengan ujung lancip bengkok. Seragam beliau pun cukup unik. Sebagai manajer yang baik, beliau selalu mengerjakan semua pekerjaannya seorang diri. Setelah itu, beliau tidak menggaji dirinya sendiri, tapi anak istrinyalah yang menerima gaji. Sungguh, penuh dengan peluh kalau aku mengingat beliau.
Aku yang tadi berpikir sebagai salah satunya pemerhati makhluk buangan, tiba-tiba mengurungkan niat. Akhirnya aku ikut juga menjadi pencampak gadis botol itu. Bukan berarti aku tak lagi menyayanginya. Bagiku kebahagiannya adalah lebih baik dari pada kebahagianku sendiri. Bukankah cinta tidak harus memiliki? Di tangan pak Tua itu, menurutku ia akan jauh lebih bahagia. Pak Tua pun juga pasti amat sangat bahagia dengan kehadiran gadis botol itu di tengah-tengah keluarganya. Istrinya yang diduakan pasti tidak akan cemburu. Karena, justru dengan kehadiran gadis itu, istri pak Tua itu bisa menyuapi anak-anaknya walau hanya dengan sebutir nasi.
Kamis, 7 januari.
Sepulang pengajian ba’da subuh, aku menyusuri jalan menuju kamarku. Setiba di persimpangan jalan pemisah antara dua asrama, mataku tak sengaja menatap botol air mineral 600 ml. Tiba-tiba aku teringat gadis botol kecap itu. Batinku pun bertanya, ”Sudahkah pak Tua itu memasukkan gadis malang itu ke pesantren Daur Ulang?, sudahkah gadis botol kecap itu kini menjadi perawan kembali?”. batinku bertanya berkesinambungan, seakan botol kecap itu memanglah kekasih pujaanku. Perhatinku adalah untuknya. Tapi, ah! Yang penting pak Tua dan keluarganya masih bisa kembali makan”.
Muhith Alhilmy Alhasyimy
Ponorogo, 16 Januari 2010
01.30 pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar