ٍSelamat Datang Kawan, Semoga Kita tetap Dalam Petunjuk-Nya
zwani.com myspace graphic comments
Free Twitter Backgrounds
Aku Bangga Menjadi Seorang Muslim

Jumat, 26 Februari 2010

(Puisi) Tanda Baca Cinta


Dalam mangu,
cintaku pada ia hanyalah tanda tanya
dan cintaku pada dia adalah tanda seru
Padahal,
cinta dia padaku hanyalah koma
dan cinta ia padaku adalah titik.
tanda baca
harus dibaca
dikupas
jangan dilepas

Muhith Alhilmy Alhasyimy

(Anekdot) Baju Koko


Nampaknya Kang Deedat memang benar-benar hanya menyukai baju model koko. Istilah orang lain mengatakan baju taqwa. Lainnya orang lain lagi menamakan baju gamis. Ah! Dalam almarinya yang bercat hijau muda dengan ganggang pintu yang sudah patah, tak ada satu lembar baju pun yang bermodel hem atau berkerah. Pikirnya, baju koko itu lebih kalem. Lebih enak dilihatnya. Agamis. Necis. Boys. Dan entahlah apa lagi. Satu lagi, kata Aa Gym bahwa, teko berisi kopi hanya akan menumpahkan kopi. Orang lain lagi mengatakan, ”kebanyakan PSK akan risih dengan kerudung, baju kurung, sarung kecuali dalamnya, dasar sukanya.”
Seperti biasanya. Acapkali Kang Deedat punya uang berlebih, ia akan langsung bergegas menuju ke Toko pakaian langganannya. Mau cari apalagi kalau bukan ’baju koko’. Corak warna yang paling ia demeni adalah warna biru. Mulai dari biru tua, muda hingga biru bayi (amat muda). Kang Deedat sendiri adalah santri berprinsip ’nggremet penting slamet’. Orang lain mengartikan, ’mengambil keputusan itu jangan tergesa-gesa, yang penting selamat’. Karena ia terlalu berhati-hati itulah ia seakan tak mempunyai hati lagi untuk pedagang klambi. Masak, milih satu baju saja hampir sejam.
Belum 2 hari baju dibeli. Tapi sudah tradisi, kalau barang yang sudah dibeli tak dapat dikembalikan lagi. Menyesal ni? Ga’ kali! Langkahnya tak pernah gontai kalau baju koko sedang terpakai. Deedat githu lho bli!. Awal mula ngreyen, banyak yang berkelakar, mulai mulut segar hingga mulut yang kurang ajar. Kayak ga’ pernah ditampar, tapi tu mulut sudah terlanjur lebar lagi memar. Enaknya memang dibiar. Contohnya kang Amar. Sudah perutnya seperti perut semar, sementara cocotnya seperti moncong dimar.
”Harga baju kokonya berapa lho Kang?”
’45 ribu!, Emang ngapain Mar?”. tanya Kang Deedat sambil duduk bersandar.
”Waaah! Ga’ kemahalan tu Kang!. Ga’ bisa nawar sih!. Koko kayak gitu yang kainnya lebih bagus dan harganya hanya 25 ribu ada kok!”
”Koko seharga 75 ribu tapi kainnya lebih jelek dari ini juga banayk kok Mar!”
Begitulah, jangan panggil Kang Deedat kalau tidak suka berdebat. Tentunya, bagi dia, mudah bersyukur itu juga lebih tepat. Kuping harus tersumbat. Apalagi kalau menghadapi mulut-mulut bangsat, bejat dan tak mudah berucap syukur untuk tuhan pemberi nikmat.

Oleh;
Muhith Alhilmy Alhasyimy
Selasa, 15 Februari 2010
04.21 pm

(Cerpen Cinta Bahasa) Lantaran Tulisan


Istriku sedang hamil muda. Harapku, semoga, di dalam perutnya adalah benar-benar murni benihku. Masalahnya, aku menyesal terlanjur menikahinya. Bukan karena keburukrupaannya, tapi justru karena kecantikannya. Sungguh!, aku amat sangat menyesal menikahinya, kenapa tidak sejak dulu saja. Malm pertama, ah! Indahnya. Sebentar lagi, istriku berulang tahun yang ke-28. seperti biasanya, ia minta dikado buku. Adat iku semenjak aku masih memacarinya dulu. Kini pun masih berlaku. Bedanya ada satu tambahan lucu, yaitu tidur lagi denganku. Tidak hanya satu buku pinta pastinya, tapi, 4 buku sekaligus. ”Adduh! Pusssing juga daku sayangku!” Rintihku, tapi hanya dalam kalbu.
Kebetulan, rekanku sepesantren dulu, Kang Edo, kini adalah penjual buku. Tokonya juga lumayan besar. Sebenarnya, sudah lama aku dan istriku berlangganan kepadanya. Hanya saja, bulan ini, ada yang cukup fantastis. Kabarnya, toko bukunya yang bernama ’Moropinter books’ bulan-bulan in masih masuk dalam promosi berani. Kata Kang Edo, siapa saja yang mau mampir dan membeli 3 buku sekaligus di tokomya, maka dia akan mendapatkan satu buku gratisan. Tidak tanggung-tanggung, satu buku gratisan adalah pilihan sesuka hati pembeli sendiri. Bagiku dan pastinya bagi kebanyakan orang lain, kesempatan ini tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Itung-itung, untuk mrngurangi biaya pengeluaran. Anehnya, Kang Edo kemarin menghubungiku dan memintaku untuk bersedia mengunjungi toko bukunya. Masalahnya, menurutnya ada yang tidak beres dengan toko bukunya. Kang Edo merasa ada yang mencoba bermain guna-guna. Kebetulan di sekitar toko bukunya, juga ada 3 toko buku lain yang selalu berebur bermain tak-tik untuk menarik konsumen. Namanya saja persaingan bisnis, terkadang pikirannya yang penting menang. Masalah cara itu terserah orangnya. Bahkan, terkadang ada juga yang mencoba bermain dengan barang-barang ghaib dan berurusan dengan makhluk-makhluk ghaib pula. Kejanggalan yang dirasa Kang Edo adalah menurun dastrisnya jumlah pelanggan setelah diadakan promosi gila-gilaan.
Akhir-akhir ini, ketika masa promosi masih digelar, pelanggan yang diperkirakan melonjak 100% lebih dari hari biasanya, malah menurun 50%. Sementara, jumlah pengunjung di toko buku sekitar ’Moropinter books’, terutama toko buku seberang jalan malah mengalami lonjakan yang mengagetkan. Padahal, hanya toko Kang Edi yang dirasa paling gila menawarkan promosi. Promosi toko buku seberang jalan hanya berani memberikan potongan harga 10% untuk pembelian 2 buku. Toko disamping kirinya, berpromosi berhadiah kaos untuk pembelian 5 buku sekaligus. Dan yang terparah adalah toko buku disamping ’Moropinter books’ belum berani memberikan promosi karena baru berdiri. Kang Edo benar-benar menduga kuat bahwa, di belakang ini semua pasti ada yang mencoba bermain ilmu hitam atau sejenisnya. Ya!, pasti.
Seusai sholat maghrib, aku dan istriku benar-benar menemui Kang Edo di toko bukunya. Aku merasa terpanggil untuk bisa ikut memecahkan permasalahan yang menimpa sahabat karibku dulu. Ketika kami berdua baru sejengkal melangkahkan kaki masuk ke dalam, tiba-tiba tangan istriku yang sedari tadi aku pegangi, dilepaskannya dari genggaman erat dan mesraku. ”Huwwek!, huwwek!” Tangannya ia katupkan pada mulut bergincunya. Ia mau muntah. Katanya, ia mencium harum bunga yang amat sangat menyengat. Aku mulai menaruh curiga. Bulu kudukku berdiri. Istriku gemetar. Aku mulai cemas. Jantungku bergetar lebih kencang. ”Kenapa hanya istriku yang mencium harum bunga itu?” batin curigaku. ”Padahal, aku tidak mempunyai masalah dengan indera penciumanku. Ketika aku mencium pipi kiri istriku tadi saja aku masih sempat menemukan dan menjamah keharumannya.” Kali ini istriku benar benar ingin muntah. Ia pening benar dengan bau harum mencurigakan itu. Secara perlahan, aku membopongnya kembali kedalam mobil. Aku ambilkan ia minyak angin dari dalam box mobil. Setelah mencium keningnya, aku berbisik pelan, ”Istirahatlahlah dulu, tidak apa-apa, biar abang saja yang masuk kedalam.”
Lama benar aku dan Kang Edo bercengkrama di dalam toko. Aku pun juga sempat menceritakan perihal sesuatu yang menimpa istriku tadi. Kami pun sangat yakin adanya orang yang bermain guna-guna. Aku pun kembali mengingatkannya untuk mengamalkan bacaan surat Alfatihah 100 kali perhari. Aku pun juga berjanji untuk membantunya jarak jauh. Setelah aku membeli 3 buku permintaan istriku, benar saja, aku mendapatkan satu buku gratisan dengan pilihan sesukaku sendiri. Kang Edo juga sempat menyodoriku 5 lembar stiker promosi untuk aku sebarkan ke berbagai penjuru. Setelah berpamitan pulang, aku bergegas menuju ke mobil. Aku agak hawatir dengan keberadaan istriku. ”jangan-jangan sakitnya makin parah, jangan-jangan diganggu mahluk halus, atau malah diembat orang. Ah!” Sebelum aku membuka pintu mobil, aku amat sangat terkaget. Di depan toko buku Kang Edo, aku melihat sesosok mahluk menyeramkan. Pakaian compang-camping agak tak karuandan rambut gimbalnya sempat membuatku merinding. Kepalanya menengadah ke atas. Ia seperti melihat sesuatu di atas toko Moropinter Books. Tepatnya sekitar spanduk. Mulutnya komat-kamit seperti membaca mantra. Sebelum ia melengos pergi, aku mencoba memberanikan diri menyapanya.
”Tidak pingin membeli buku pak?, mumpung masa promosi masih ada. Banyak untungnya lho!”
Dengan mata misteriusnya, ia pun membalas sapaanku. ” Untung bagaimana to mas! Wong dalam tulisan promosi spanduknya saja jelas-jelas merugikan. Masak ’beli 3 dapat 1’. Kalau ’beli 3 dapat bonus 1’ saya mau mas, mau banget”
Saya pun memandangi dan mencermati serentetan tulisan pada stiker pemberian Kang Edo tadi. Tulisannya aku bandingkan dengan tulisan pada spanduk di depan toko. Tulisan apa coaba yang aku temukan.
”Buruan beli buku di sini!!!. ’Beli 3 dapat 1’. cepetan, keburu habis lho masa promosinya!”
”Ooo...! jadi ini biang keladinya!”

Muhith Alhilmy Alhasyimy
Jum’at, 19 Februari 2010
02.25 pm

(Anekdot Pemikiran) Mencuci Saat Hujan


Siang itu, langit memuntahkan muatannya. Tangisan lembutnya membuat rerumputan di pekarangan dan pepakaian di jemuran basah kuyup. Aku yang sedari pagi berniat mencuci pakaian tanpa langkah gontai, langsung saja berjalan sembari menenteng ember yang berisi gegombal kotor dan sabun cuci ke kamar mandi.
Koncoku yang sedari tadi memerhatikan tingkah polahku, tiba-tiba nyeletuk.
”Kang! Udan-udan kok malah umbah-umbah?”. Aku yang suka bercandapun akhirnya nyerocos sekenanya.
”harusnya kan gitu co!. La daripada nyuci ketika panas, e... waktunya menjemur pakaian malah hujan!”.
Sembari manggut-manggut, koncoku berujar, “O.....! iyo.. yo... kang!. He...he...he...”.
Sobat, cuaca panas itu waktunya menjemur pakaian, bukan waktunya mencuci pakaian, camkan baik-baik tiu.
Muhith Alhilmy Alhasyimy
Ponorogo, November 2009

(Bukan) Hobi Baru Kang Bashor


“Brur! Brur! Makan saja kamu itu. Makan kok dibuat hobi. Udah perut kayak perut semar githu, masih ngganyemi saja. Mbokya jangan berprinsip ’hidup ini untuk makan’. Tapi, ’makan ini untuk hidup!’ githu lho!”
”Emang, Akang Bashor prinsipnya yang mana?
”Ya makan untuk hiduplah!, aneh banget kamu ini!”
”Emang, Akang Bashor sehari makan berapa kali?” Tanya Kang Bruri memancing.
”3 kali!, ngapain emang?”
”Ah! Pecundang kamu itu Kang!”
”Enak saja kamu bilang!. Emang kenapa?, normalnya bergitu kan?” Kang Bashor membela diri sambil bertanya penasaran.
”Orang yang prinsipnya ’makan untuk hidup’ itu, makannya 3 hari sekali Kang!, bukan sehari 3 kali. Kalau begitu sih namanya juga hidup untuk makan.”
”Kalau nggak gitu kan kita jadi kurang bertenaga dalam beraktifitas?”
”Yang penting kan bisa hidup” sergah Kang Bruri ngeyel.
Kang Bashor ”...???”


Muhith Alhilmy Alhasyimy
Ponorogo, 19 Februari 2010
12.45 pm

Kemerdekaan Perut Santri


Moncong speaker itu telah sering kali meludah. Cipratan ludahnya tidak membekas membasahi lantai asrama, tapi malah membasahi gendang telinga. Terkadang sampai basah, tapi tak sampai kuyup-kuyup amat. Tekadang lagi, ia meronta dan membuat sayatan-sayatan perih, ia membuat lubang-lubang dekil dalam kalbu, ia membuat tusukan-tusukan mengerikan. Dan terkadang, ia adalah pelipur lara, penghibur duka, pengobat sukma. Entah! Berapa ratus perasaan tertumpah ruah pula ke dalamnya dan dari dalamnya. Mulai dari bersorak-sorai, menggerutu, mencaci, memaki, mengkritisi sembari memberi solusi, tak menghiraukan hingga menyadari dengan sendiri. Wajarlah! Tak ada yang aneh. Tapi bagiku, terkadang aneh pula.
”Mohon perhatian! Kami ingatkan kembali kepada konco-konco santri, bahwasanya, persiapan berangkat ke kelasnya masing-masing hanaya 5 menit. Bagi yang baru berangkat setelahnya, maka akan mendapatkan sanksi dari pengurus. Sekian, atas perhatiannya kami sampaikan tertima kasih. ”
”Kriii...ng, kriii...ng, kriii...ng!”. Sungguh, bel itu tak lebih pelan dari gemuruh hujan. Para santri tak jarang sewot karena dipaksa mendengarnya. Mayoritas, muka masam mereka selalu tampak. Dan kian hari, kian kusut saja. Mungkin, bagi mereka, waktu-waktu itu adalah waktu yang membosankan. Tak jarang, kaki mereka berjalan seperti siput dingklang. Sebagian yang lain, segera beregas, tapi mereka itu kaum minoritas. Bergegas, belum tentu panggilan hati. Bisa saja karena takut mendapat sanksi, atau karena ingin tidur lagi dikelas nanti. Oh! Ah! Ih! Buruknya sebagian mereka telah terlanjur terancuni pemikiran ngawor, ’lek ngantuk diturokne, lek ora ngantuk, di turok-turokne’. Wah! Kaccau.
Sebagian lagi, tetap tidur di kamar adalah pilihan tersantai. Biarlah nanti dihukum. Tak apalah digebyur air segalon. Biarlah ditendang pada bokong. Ah! Santai itu nikmat. Perbedaan adalah keindahan. Nikmatnya laki-laki menikah dengan perempuan. Kalau semua orang perempuan, apa yang bisa dimasukkan seusai duduk di pelaminan? Macam watak penguru pun demikian. Sebagian, galaknya melebihi tentara, dan sebagian yang lain, lembutnya melebihi wanita. Berhati-hati hingga mudah dibohongi. Ganas, keras, beringas hingga salah tebas. Sementara, yang terlalu berhati-hati selalu memegang prinsip, ’lebih baik keliru memberi maaf dari pada keliru memberi hukuman”. Demikian itu, bagi mereka, banyak selamatnya. Sungguh!. Persamaan yang tak pernah sama.
5 menit belum berlalu
”Mohon perhatian!. Karena ada suatu hal yang bersifat teknis, untuk sementara waktu, kegiatan pengajian diliburkan. Mohon dimaklumi adanya!.”
”Hore...! hore...! mbok gitu kang, sekali-kali diliburkan.” Muka masam kini telah menghilang. Kegaduhan membangkitkan kesemangatan para pejuang. Keheningan tersayat. Robek. Ternoda. Luka darah kesemangatan terlanjur membanjiri arena pergulatan melawan nafsu belaka. Rekan santri yang terlanjur berangkat, kini kembali menapaki jalan siputnya tadi. Dari kecepatan satu jengkal 1000 jam, menjadi 1000 km per detik. Aneh bagiku. Tapi bagi mereka, itu wajar saja.
Semua tahu, ba’da maghrib adalah waktunya sorogan bersama, ba’da isyak waktunya belajar bersama, ba’da shubuh waktunya mengaji kitab bersama dan semua serba kegiatan yang terdata rapi. Teriakan micropon hingga gemuruh lonceng selalu mengoyak mengingatkan. Keperawanan salon pun sempat robek pula. Hanya ada satu kegiatan yang tanpa lonceng. Tanpa peringatan. Dan tanpa hukuman keterlambatan. Sama sekali kosong. Bahkan, nol kecil pun tak tampak dan memang tak ada.
”mohon perhatian!. Karena ada suatu hal, untuk sementara waktu, pelaksanaan makan siang diundur satu jam. Silahkan kembali ke tempat antrian seusai pukul setengah dua. Demikian, mohon dapat dimaklumi adanya.”
”Huuu!!! Bagaimana to Kang!, masak nasi aja tidak pecus!”
Bumi gonjang-ganjing. Geger. Muka kesemangatan tampak usang dan yang usang menjadi lebih usang. Gerutuan, kebencian, kejengkelan, kekesalan dan ke, ke, ke yang lebih hina semakin tampak saja. Bagi mereka, permohonan maklum tak lagi bisa diterima. Kemerdekaan perut mereka sudah terlanjur ditentang. Antrian makan bubar. Pecah. Semburat tak karuan. Yang agak bisu, meneriakkan piringnya keras-keras. Kedisiplinan mereka kini, telah ternodai. Padahal kedatangan mereka selalu tepat waktu. Bukan tepat waktu lagi, malah sebelum waktu. 10 menit, 15 menit bahkan setengah jam sebelum kedatangan gerobak nasi, mereka suda mengantri. Kalau toh pengurus tak pernah mengebel, maka piring mereka adalah bel itu sendiri. Tanpa disuruh, mereka pasti memukulnya keras-keras. Bahkan, ketika dilarang dibunyikan, mereka tetap saja membunyikannya. Yang aku masih belum bisa membayangkan, bagaimana kalau makan itu diliburkan. Diundur sedetik saja sudah seperti ada gempa. Tidak hanya 9,5 skala richter, tapi malah melebihi 1 juta skala richter.
Ketika kejenuhan menimpali badan-badan para pengurus. Ketika kesemangatan luluh lantak, ketika bel-bel tak lagi bergemuruh, ketika mulut micropone tak lagi mengoceh, apa kata para santri,
’Sorogan apa ndak Kang, ngaji gak sih, ada belajar bersama atau tidak?”
Ah! Pertanyaan yang teramat polos. Biarlah! Yang penting ketika bel tak lagi berbunyi untuk kedatangan nasi, toh mereka tetap berangkat mengantri. Dan ketika itu terjadi, tak ada bel untuk kedatangan nasi, mereka tak pernah bertanya dengan kepolosan mereka,
”Ada makan ndak nih!”
Memang! Hidup ini hanyalah untuk makan. Karena setelah mati nanti, kita tak bisa makan lagi.

Oleh;
Muhith Alhilmy Alhasyimy
Selasa, 12 Februari 2010
04.12 pm

Selasa, 16 Februari 2010

(Puisi) Mbunglon


Dhuha itu,
Bunglon madep ngulon.
Rintihnya,
Kantong mlompong
tak sampek bolong.
Soalku,
Masihkah berlaku,
Ba’da miliar mengoyak rayu?

Muhith Alhilmy Alhasyimy
Ponorogo, 19 Januari 2010
08.36 am

Ibu Dapurlah Komponen yang Terjadug



Sore itu, 03 Februari 2010, aku dan rekan-rekan santri tingkat takhashshush sedang mengikuti pengajian kitab Riyadhushsholihin yang dibimbing oleh Ustadz Mudlofir Ihsan. Namanya juga santri takhashshush, tentunya muridnya sudah pada tua. Setidaknya, lebih tua kelasnya dibanding kelas 6 Madrasah Miftahul Huda (sekolah diniyyah) ke bawah. Sekolah yang tak lagi berseragam, tak ada ujian, sekelas sama potongan rusuk adam hingga keistimewaan lainnya ada pada kami. Hanya saja, kebanyakan dari kami mengaku belum bias apa-apa. Dari kami, hampir 100% menjadi pengurus pondok, hanya murid yang laju dari rumahlah yang tidak mengemban tanggung jawab itu.
Ketika proses penjabaran maksud hadits, tiba-tiba saja Ustadz Mudlofir bercerita;
“Saya teringat dawuhnya almaghfurlah yai Hasyim dulu, bahwa pengurus terjadugnya podok kita adalah yang apabila ia tidak bekerja seminggu saja, seluruh kegiatan pondok kita bisa carut-marut. Lantas, apakah seandainya kita tidak bekerja seminggu saja kegiatan podok sudah carut-marut?. Kalau tidak ya jangan mengaku terjadug! ”
Semua terdiam mendengar apa yang disampaikan Ustadz Mudlofir. Menurut cerita, dahulu beliau itu memang sangat dekat dengan yai Hasyim. Aku sendiri sebenarnya juga sudah sering beliau beri semangat dengan cerita-cerita tentang pendiri pondok itu. Hanya saja, lagi-lagi masalah organisasi. Memang, Ustadz Mudlofir itu telah dikenal khalayak dengan kemahiran beroganisasi. Dulunya beliau juga sering diajari masalah organisasi oleh yai Hasyim. Sementara pesan yang ini agak menarik untuk disimak rasanya. Keso’an yang pernah hampir memprosokkan kami pun seakan mulai runtuh.
“Akan tetapi, apabila kita tidak bekerja seminggu saja, sementara kegiatan pondok malah lancar, wah! Berarti itu ada ketidakberesan pada diri kita!”
“Hahaha…!”
Kami tertawa hampir bersamaan. Suasana yang tadi agak tegang, tiba-tiba gaduh. Akupun juga geli. Batinku berkata,
“Bisa-bisa saja Ustadz ini, mungkinkah aku termasuk di dalamnya?”
Kami terdiam kembali, dan beliau pun melanjutkan pembicaraannya.
“Menurut yai Hasyim, mungkin yang terjadug itu adalah bu dapur”
Aku tercengang. “lho kok malah bu dapur?, kenapa tidak pengasuh pondok sekalian”. Rupanya yai Hasyim sendiri tidak mengakui kejadugannya. Padahal jadi pengasuh itu tidaklah segampang menggoreng tempe.
“Coba! Kalau makan kita itu libur seminggu, wah pasti mawut kegiatan pondoknya!”
“Hahaha…!”
Kami tertawa lagi.
“Benar juga apa kata beliau, jangankan makannya libur seminggu, libur sehari saja, kegiatan pondok bisa macet total!, aku yakin sekali itu”
Keesokan harinya, kamis, 04 Februari 2010. Sekitar pukul 06 pagi, disaat antrian makan sudah ramai.
“Mohon perhatian!, mohon maaf, karena ada suatu hal, untuk sarapan pagi hari ini diundur hingga waktu yang telah ditentukan”
“Hu…!”
Semua santri ricuh. Antrian bubar! Kekecewaan muka mereka sangatlah tampak. Aku seperti melihat kiamat pada pagi itu. Rupanya pengumuman dari pihak dapur itu telah mampu mengoyak kesenangan mereka. Aku sudah terlanjur beli lauk, tapi ternyata kedatangan nasi diundur. Kabarnya ‘diundur’ tidak sampai ‘diliburkan’. Aku tak habis pikir, apa yang terjadi kalau sampai sarapan hari itu diliburkan. Aku tidak terlalu kecewa. Aku cerna kembali perkataan Ustadz Mudlofir kemarin. Segera aku makan lauk itu tanpa nasi, yang penting perut terisi. Setidaknya untuk penambah semangat kuliahku nanti.
Oleh;
Muhith Alhilmy Alhasyimy
Sabtu, 13 Februari 2010

Senin, 15 Februari 2010

Kembalinya Keperawanan Botol Kecap


Rabu, 06 Januari, seusai pengajian ba'da shubuh, tanpa pikir panjang x lebar x tinggi apalagi dibagi luas, aku langsung mandi. Pagi itu gairahku untuk merajut hidup dengan belajar tentang banyak hal kembali mencuat ke permukaan. Aku serasa sedang menjadi pengantin laki-laki di malam pertamanya. Yang ada hanyalah kesemangatan yang membara, kesemangatan yang membuang dan mengubur dalam-dalam aliran mata dari sungai lesung pipi. Kesemangatan untuk siap mendapatkan sesuatu yang terbayang berasa nikmat. Pagi ini aku berharap bisa berangkat kuliyah lebih awal. Masalahnya, aku tak sabar lagi untuk untuk meraba mesra keyboard, memandang rayu monitor, meremas-remas tetikus dan mencumbui komputer di laboratorium kampus hijau. Bagiku dia adalah istriku sebelum aku menikah. Aku ingin menikmatinya sebelum Ibu dosenku datang mengganggu dan berakting seakan mengajariku sesuatu. Setelah handuk mengelap kering tubuh kekarku, semprotan minyak wangi tak bisa terelakkan. Pikirku, jangan sampai istriku nanti tak bergairah hidup karena bau badanku. Di sisi lain, pakai minyak wangi juga disunnahkan kan! Simpelnya, prinsipku "tetap semangat!" sudah mulai kambuh.
Tapi naas. Kecelakaan besar beruntun pun tak dapat terelakkan. Seakan isu murahan 21 Desember 2012 adalah hari ini.
Ketika aku mencoba menghampiri taman baca koran, tiba-tiba ada suara maha dahsyat yang menyambar mengerikan di gendang telingaku. Saking kerasnya, telingaku mengucurkan darah segar dalm halusinasi.
"Ayo kang Hil, piket halaman!". Benar-benar mengagetkan. Terdengar seperti dentuman bom bunuh diri di Bali. Setelah aku melakukan olah TKP (tempat kejadian perkara), ternyata suara itu berasal dari trowongan mulut kang Qidam.
"Lho! Opo wayahe awa'e dhewe?, ki tanggal piro?"
'Yo!, tanggal enem kang Hil!" Katanya meyakinkan, seakan itu memang bom waktu beneran. Sungguh!, aku bisa jantungan karenanya. Mungkin suratan kiamat sudah waktunya tiba dan mulut kang Qidamlah sebagai terompet penghancur alam seisinya yang sudah dijanjikan.
Akan tetapi aku tak percaya begitu saja. Dengan langkah yang tidak lagi merasa seperti pemilik pribadi malam pertama, langkah gontaiku mengantar aku menuju kantor pengurus bidang kebersihan. Kuratapkan wajah kusamku kepada tembok yang ternodai oleh kertas jadwal piket halaman. Kurabakan tanganku dengan terpaksa kepada jadwal bangsat. Kucari nama unikku dengan mencocokkan tanggal piket di atasnya. Lagi-lagi gairah malam pertamaku pupus, musnah menjadi abu, debu, tersapu.
Waddduh!, Masya Allah! Benar, aku hari ini terjatah piket halaman. Bayangkan coba!, sudah mandi bersih, pakai minyak wangi bermerk internasional, setelahnya malah disuruh ngais sesampah. Kamu tahu kan, apa sampah itu? Kotor pastinya. Berkuman dan biasanya tak terlupa, ada belatungnya. Menjijikkan ga' tuh?. Wah!, kalau menurut kulit bersih dan harumku, itu kelasnya bukan menjijikkan lagi, tapi amat sangat sungguh-sungguh pasti menjijikkan jiddan! Tapi bagaimana lagi? Demi cintaku padamu wahai pesantrenku, belatung pun, aku berani mengambilnya dengan mulut bugilku. Tapi ingat, jangan sombong dulu pesantrenku, kau tetap bukanlah tuhan!, yang aku sembah setiap siang dan malam, setiap nafas dan hirupan.
Setelah perut buncit bus dorong yang berbentuk persegi panjang dijejali sesampah asrama, aku meminta kang awwal untuk menjadi drivernya. Biarlah aku menjadi kernet yang nantinya memasukkan penumpang buangan yang amat sangat menjijikkan. Beberapa bak sampah dari keluarga ndalem sudah aku paksa memuntahkan kembali isi perutnya. Penumpang baru itu rata-rata tak bernyawa. Ia tak bisa berpindah tempat dengan sendirinya, kecuali bau busuk aroma tubuhnya. Mataku jeli memandangi sesampah itu, tanganku terkadang mengoreknya untuk meratakan, tiba-tiba, ah! Apa itu?, kok bisa bergerak? Ha belatung? Idi…h, amit-amit lah yau! Tapi, tak apalah, habis, bagaimana lagi?. Lagi-lagi bayangan pesantren yang aku cintai memaksa aku menjadi budaknya. Bedebah ga’ tuh rasa “cinta”.
Bus beroda dua itu sejak tadi sudah menyinggahi beberapa halte. Kang Awwal tetap menjadi drivernya. Rodanya agak kempes, jalannya agak gleyotan, agak pelan, tapi tidak seperti bekecot dingklang. Tujuan kami selanjutnya adalah halte depan koperasi pondok. Harapku, nanti aku menemukan penumpang buangan yang masih perawan dan bermadu, biar aku bisa menghisapnya. Menghisapnya dengan ketulusan hati.
Ternyata benar!
Dengan tanpa hentinya, mataku yang berpigora ini memandanginya tanpa sedetik pun berkedip. Aku rabakan tanganku keseluruh tubuhnya dengan elusan yang super duper mesra. Ia terasa pasrah. Ia diam. Tanpa sedikitpun gerakan. Meronta pun tidak, apalagi sampai menjerit bersuara. Walaupun madunya terlihat sudah habis terkorek tanpa sisa, walaupun ia terlihat bekas dijamah dengan pakaian yang robek dan tinggal menutup anggota atasnya, tapi bagiku ia masih ada manfaatnya. Bagiku, ia bukanlah sampah walaupun dengan jelas ia adalah sampah. Setidaknya aku berencana memakainya untuk tempat sabun cuciku. Dialah gadis yang sudah terjamah itu, botol kecap, bukan dari kaca, tapi mirip tempat air mineral isi 600 ml. unik, cantik, menggiurkan, kemayu, perayu, hampir bugil, tak berjilbab, sudah tidak perawan lagi. Sampah!, tapi bagiku, ia tetap bukanlah sampah. Masih banyak manfaatnya.
Aku tetap memegangnya erat-erat. Menimbang-nimbang. Selain aku, masih adakah orang lain yang mampu merubah total hidupnya? Apakah yang terbaik ia selalu di sisiku, atau aku berikan saja ia kepada orang lain? Tapi siapa lagi yang masih mau dengan sampah? Bukankah semua orang menghardik buangan? Aku tetap diam sambil memeganginya dengan penuh perasaan. Lama. Kang Awwal tetap menjadi drivernya. Ia tak menghiraukan tingkahku. Ah! Hanya aku yang perhatian kepadanya. Hanya aku yang masih menganggpnya bermanfaat. Pikirku. Tapi aku tak boleh terburu-buru mengambil kesimpulan. Aku masih terus berfikir. Ah! Tapi, tunggu dulu. Tiba-tiba aku teringat akan pak Tua si pengais sampah kontainer pondok kami. Beliaulah yang selama ini membantu kami menurunkan penumpang buangan dari bus aneh kami. Rasa jijik kami pun sering terobati karenanya. Lokasi sebelah timur gedung madrasah putri tingkat empat itu seakan adalah kantor beliau. Sungguh kantor yang amat sangat rapi. Bersih! Bersih dari hal yang bersifat bersih. Bau harumnya pun sering memaksa kami untuk menyumbat rapat-rapat lubang hidung kami. Bagi kami mati karena tak bisa bernapas adalah lebih baik dari pada kami harus menghirup bau harum udara kantor beliau. Bolpoin kantor beliau cukup unik. Pasti tidak dijual di toko penyedia alat-alat sekolah dan kantor selengkap apapun. Tanpa tinta, panjang, dengan ujung lancip bengkok. Seragam beliau pun cukup unik. Sebagai manajer yang baik, beliau selalu mengerjakan semua pekerjaannya seorang diri. Setelah itu, beliau tidak menggaji dirinya sendiri, tapi anak istrinyalah yang menerima gaji. Sungguh, penuh dengan peluh kalau aku mengingat beliau.
Aku yang tadi berpikir sebagai salah satunya pemerhati makhluk buangan, tiba-tiba mengurungkan niat. Akhirnya aku ikut juga menjadi pencampak gadis botol itu. Bukan berarti aku tak lagi menyayanginya. Bagiku kebahagiannya adalah lebih baik dari pada kebahagianku sendiri. Bukankah cinta tidak harus memiliki? Di tangan pak Tua itu, menurutku ia akan jauh lebih bahagia. Pak Tua pun juga pasti amat sangat bahagia dengan kehadiran gadis botol itu di tengah-tengah keluarganya. Istrinya yang diduakan pasti tidak akan cemburu. Karena, justru dengan kehadiran gadis itu, istri pak Tua itu bisa menyuapi anak-anaknya walau hanya dengan sebutir nasi.
Kamis, 7 januari.
Sepulang pengajian ba’da subuh, aku menyusuri jalan menuju kamarku. Setiba di persimpangan jalan pemisah antara dua asrama, mataku tak sengaja menatap botol air mineral 600 ml. Tiba-tiba aku teringat gadis botol kecap itu. Batinku pun bertanya, ”Sudahkah pak Tua itu memasukkan gadis malang itu ke pesantren Daur Ulang?, sudahkah gadis botol kecap itu kini menjadi perawan kembali?”. batinku bertanya berkesinambungan, seakan botol kecap itu memanglah kekasih pujaanku. Perhatinku adalah untuknya. Tapi, ah! Yang penting pak Tua dan keluarganya masih bisa kembali makan”.

Muhith Alhilmy Alhasyimy
Ponorogo, 16 Januari 2010
01.30 pm

Absen Kejujuran


Kala itu (bukan nama mantan wapres kita) masih anget-angetnya istilah “Bapak Kamar”. Aku yang baru saja berganti status dari “diakui Siswa” menjadi “terakreditasi Mahasiswa” ikutan terjerat masuk ke dalam sindikat tersebut. Menurutku, istilah bapak kamar itu terasa agak miris dan kasar. Boro-boro jadi bapak dan sudak punya anak, lha ibunya mana?. Bukan masalah susahnya sih, mencari ibu kamar, nolak-nolak malah. Lagian, emang asyik, bapak tidur sendirian tanpa ditemani ibu?!, hehehe…
Aku yang sekamar dengan rekan aliyah, agaknya faham betul dengan kondisi psikologi mereka. Setidaknya, dulu aku juga pernah ngiler di atas bebangku mereka. Kebanyakan, mereka itu, sedang tinggi-tingginya rasa “kesetiakawanan”. Buktinya, mereka tak jarang meng”hadirkan” rekan sekamarnya yang jelas-jelas pulang tanpa izin atau keluar malam saat pengabsenan dari pengurus bidang keamanan. Seakan mereka sama sekali tidak percaya adanya hari pembalasan dan pertanggungjawaban perbuatan.
Malam itu, aku mendapat tugas mengabsen rekan sekamarku sendiri. Julukan kasarnya, “Anak Kamar”.
“Cah! Ngabsennya gimana nich?!, secara jujur pa bohongan!” teriakku.
Ngapusi wae kang!, ngapusi!”. Balas sebagian dari mereka.
“Ok-lah!, absenannya system bohongan, setuju?!”
“Setuju kang! Teriak mereka, preman kamar kegirangan. Mungkin mereka pikir, kalau aku itu tipe orang yang sangat setia pada kawan.
“Baik kalau begitu, berarti nanti yang hadir saya alpha!” gertakku kejam.
“yo kang! gak apa-apa. Aku besok-besok tak tidak usah hadir saja!” ancam balik mereka.
“Berarti, nanti yang tidak hadir, juga saya alpha!”
“Lho! Kok gitu to kang?!” Tanya mereka yang mulai kebingungan.
“ Katanya pengabsenannya memakai sistem bohongan?! Seharusnya, janji awal saya kan, kalau kalian tidak hadir, saya titik, alias saya hadirkan. Tapi, karena saya membohongi kalian , berarti absennya saya alpha!.
“Jadi!, hadir tidak hadir dialpha?!”
”Betttul, yo iyo lah!”
“Ya sudah, jujur bae lah kang!”
”Ok lah!. Ahmad Muhammad!” panggilku mengabsen.
“Maujud Akh!” teriaknya sambil mengangkat jari telunjuk.
“John wadouh be young!”
“Presen Frend!”
”Karyo suro ndono!”
”Nggih kang, wonten!”
Begitulah! Selama ”akal” masih bisa digunakan, maka ”okol” belakangan.
Oleh;
Muhith Alhilmy Alhasyimy
Jum’at, 11 Desember 2009,
11.00 pm

Minggu, 07 Februari 2010

Mengenali Tulisan Tangan

Tulisan tangan memiliki kaitan erat dengan kondisi jiwa kita. Bagaimana cara membacanya…?Seorang ahli ilmu jiwa mengatakan bahwa tulisan adalah gambaran jiwa seseorang. Sehingga bagi orang yang ahli bagaimana situasi kepribadian seseorang bisa terbaca lewat tulisan tangannya. Namun tentunya bukan ditebak begitu saja secara sembarangan, karena untuk yang satu ini perlu menguasai ilmunya.

Bila diantara pembaca ada yang berminat membaca tulisan tangan dan isi makna yang terkandung di baliknya, silahkan ikuti intisari ilmu membaca rahasia dibalik tulisan tangan atau Graphologi, lewat artikel ini.Walaupun tafsiran dari tulisan tangan itu tidak mencapai akurasi sampai 100 persen, namun toh sangat berguna sekali, terutama bagi mereka yang bergerak dalam bidang yang berurusan dengan personalia. Misalnya saja, ketika dibuka lowongan kerja baru, biasanya banyak berdatangan surat lamaran kerja yang masuk. Dan seorang manajer di sebuah perusahaan, atau siapapun ingin agar mempunyai bawahan atau teman kerja yang berkepribadian baik, oleh karenanya layak juga setiap surat lamaran kerja diprioritaskan dengan ditulis dengan bentuk tulisan tangan, yang ditulis sendiri oleh si pelamar yang bersangkutan.

Lewat tulisannya ini, Anda bisa membaca kepribadian calon pekerja atau bawahan Anda.Menurut Grafologi, sedikitnya ada enam hal yang bisa kita gunakan dalam metode membaca kepribadian seseorang melalui tulisan tangannya. Uraian secara garis besarnya adalah sebagai berikut:

1. BESAR KECILNYA TULISAN Dilihat dari sudut pandang besar kecilnya tulisan terdapat empat kriteria penting yaitu: kecil, sedang, besar, dan sangat besar.Tulisan yang berukuran kecil menunjukkan sifat pendiam, sering menyendiri tapi punya otak yang cemerlang dan pikirannya selalu ilmiah. Orang dengan tulisan seperti ini nalarnya logis. Tulisan tangan yang ditulis kecil-kecil tapi jelas mudah untuk dibaca menunjukkan penulisnya pandai, juga punya konsentrasi kuat, walau sayang tipe ini kadang suka sekali menonjolkan keilmuannya. Sedangkan jika tulisan tangan kecil dan susah membacanya berarti sang penulis adalah orang bertipe mandiri dalam hidupnya.Tulisan tangan sedang, mengandung makna bahwa penulisannya adalah orang yang sangat terpaku kepada tradisi kuno, atau hal-hal yang bersifat formil modern. Tipe ini sangat jitu dalam penggunaan logika untuk dasar referensi keputusan-keputusan nya. Jenis tulisan tangan yang besar menunjukkan besarnya ambisi seseorang namun murah hati dan selalu ingin dihargai oleh orang lain, di samping suka melebihkan omong-omongan yang kurang perlu. Sedangkan untuk jenis tulisan tangan yang sangat besar menunjukkan bahwa penulisnya sangat hati-hati dalam segala hal, gemar membuat perhatian bagi sekelilingnya, banyak over aktingnya dalam mencari perhatian, ingin selalu tampil di depan, karena dia gemar berpetualang kemana-mana, mengikuti panggilan jiwanya.

2. GAYA TULISAN Dalam spesifikasi Gaya Tulisan ini terbagi ke dalam lima sub. Masing-masing, adalah:

- Gaya sambung biasaOrang yang punya model tulisan begini biasanya senang memberi respon pada setiap masalah, bisa menerima ide dari orang lain, mudah bergaul dan disenangi teman. Baginya berbakat untuk menjadi seorang pemimpin.

- Gaya sambung berbentuk petakMengandung arti penulisnya mudah dipengaruhi, selalu menilai enteng setiap persoalan, hingga tindakannya kadang terkesan sembrono, tanpa pemikiran matang.

- Gaya Sambung BerlikuTulisan yang banyak luka-likunya, mengandung makna bahwa penulisnya sangat formil, hati-hati dan sering menonjolkan status, namun umumnya sifat mereka pendiam, gemar menyendiri dan biasanya banyak memiliki keahlian atau bakat.

- Gaya Lurus dan LancipTulisan tangan model demikian menunjukkan penulisnya orang agresif, sangat tekun mengerjakan sesuatu, walau kadang enggan berkompromi dengan orang lain. Bila lancipnya pada huruf awal saja maka pertanda dirinya orang yang banyak mengalami konflik psikologis, sehingga kadang bersikap agresif.

- Gaya Campuran Bentuk tulisan bersambung yang tak karuan menuliskan cepat, dan kadang sukar membacanya hal ini mengandung arti bahwa penulisnya adalah orang yang biasa berpikir cepat, kreatif tapi paling tersinggung kalau dikritik. Bahkan, bila tidak sesuai dengan kehendaknya jangan harap orang bisa mendapatkan bantuannya karena dia paling doyan mengelak dalam memberi pertolongan.

3. KEMIRINGAN TULISAN Bentuk kemiringan tulisan tangan, apakah itu miring ke kiri atau ke kanan, atau tegak lurus. Mereka yang tulisannya miring ke kiri menunjukkan bersikap tertutup (introvet). Segala sesuatu diukur menurut penilainnya sendiri atau menurut ukuran masa lampau. Disamping mempunyai sikap konservatif, orang dengan tipe tulisan ini sangat individualis.Jenis tulisan miring ke kanan, menandakan orang yang ramah, aktif dan bersikap terbuka (extropet), berani menghadapi tantangan baru. Dalam bekerja kata hatinya merupakan power yang penting, tapi dalam hal yang kurang dikuasai dia lebih banyak untuk menanyakan kepada ahlinya.Tulisan tangan yang bentuknya tegak, mengandung arti bahwa penulisnya adalah tipe orang yang tak suka banyak diatur. Baginya dia adalah miliknya sendiri, kebebasan menjadi hobinya dalam mengerjakan sesuatu tindakan, namun kontrol diri tidak pernah lepas dalam memilah dan memilih hal yang dianggapnya positif.

4. TEKANAN TULISAN Bila kita memperhatikan bekas tulisan tangan seseorang akan ditemukan tampak goresan tekanan tulisan seperti tercetak di baliknya. Dengan memperhatikan bekas goresan yang tercetak di balik kertas kita akan dapat mengetahui dan menebak bagaimana kepribadian dan tingkah laku si penulisnya. Tekanan yang halus berarti pembawaannya tenang, tapi mudah atau tidaknya dibaca itu bukan persoalan. Sedangkan tulisan yang bekas tekanannya tercetak jelas di belakangnya menandakan penulisnya punya sifat kaku dan formal. Karenanya orang ini sulit untuk bisa cepat menyesuaikan diri dalam pergaulan, namun dia menganggap bersikap demikian penting baginya agar dihargai orang lain.

5. BENTUK HURUF AWAL Diantara orang ada yang gemar memainkan bentuk tulisannya, terutama bentuk awal tulisannya. Beberapa ciri dan kecenderungan karakter si penulis adalah sebagai berikut:- Bentuk JangkarDisebut bentuk jangkar karena memang huruf awal tulisnya dalam bentuk jangkar. Tulisan ini memberi tanda bahwa yang memiliki tulisan cenderung bersikap kurang dewasa dan kurang percaya diri dalam menjalani hidup. Dia banyak bersikap pasif.- Bentuk BusurDisebut bentuk busur karena memang bentuk awalnya membentuk busur seperti ditarik. Pemilik tulisan ini biasanya cepat puas dengan hasil yuang dicapai, dan hidupnya sangat berpandangan kuat akan nilai-nilai religius.- Bentuk MemanjangHuruf awal memanjang yang dituliskan pelan-pelan, menunjukkan bahwa orangnya terlalu berhati-hati dalam merencanakan masa depan. Panjanganya huruf awal menunjukkan kelambatan kerja dan pemborosan waktu.- Bentuk memanjang dari bawahBentuk memanjang dari bawah bila digoreskan secara kilat menunjukkan penulisannya orang yang agresif dan cepat menyelesaikan pekerjaan, disamping gemar melakukan berbagai eksprimen.

6. BENTUK HURUF AKHIR Bentuk akhir kata yang dituliskan, menunjukkan sikap sosial dan kualitas penulisnya. Tentang huruf akhir ini ada tiga model. Masing-masing, adalah:

- Bila huruf akhir suatu kata ditulis memanjang, mengandung pengertian bahwa orang itu memiliki kemurahan hati, rasa sosialnya besar.

- Bila huruf akhir memanjang ke atas, berarti penulisnya menyukai kemewahan, disamping idealis dan punya semangat yang tinggi.

- Bila huruf akhir menyilang berarti tidak segan mengritik diri sendiri apabila perbuatannya memang salah atau keliru.

Demikianlah sekilas tentang membaca rahasia tulisan tangan menurut Grafologi. Mudah-mudahan uraian singkat ini bermanfaat..
http://sepapk7.blogspot.com/2009/03/mengenali-tulisan-tangan.html